Instagram :)

Toraja Culture, Arts & Traditions

Posted by

Lantang (Dok. Penerbit)
Toraja, kata ini mungkin sudah tak asing lagi di telinga kita. Ya, Toraja adalah salah satu daerah yang terletak dibagian utara Makassar, provinsi Sulawesi Selatan. Sebelumnya Toraja diberi nama Tondok Lepongan Bulan Tana Marik Allo yang diartikan sebagai sistem pemerintahan dan bermasyarakat dalam satu kesatuan utuh yang diberi simbol bulan dan matahari. Maksudnya negeri tersebut dibentuk atas adat, budaya, serta kepercayaan yang berasal dari satu sumber, layaknya sinar bulan yang berasal dari pantulan sinar matahari. Sehingga tebentuklah satu kesatuan yang dianugrahi warisan budaya yang luar biasa oleh Sang pencipta. Nusantara yang kita tempati saat ini dengan berbagai ragam budaya dengan ciri khas tersendiri menjadikannya unik dimata dunia salah satunya Toraja yang saat ini dalam tahap persiapan menuju " Toraja Goes To The World Cultural Heritage". Dengan keunikan tersebut banyak orang diseluruh penjuru pelosok dunia menyimpan rasa cinta untuk dapat berkunjung ke Toraja.
Barisan Kain Merah (Dok. Penerbit)
Kebudayaan Toraja adalah salah satu diantara ribuan pesona budaya yang masih tetap bertahan yang dimiliki oleh bangsa Indoensia terlebih masyarakat Toraja itu sendiri. Toraja memilki keunikan tersendiri yang tidak dapat dijumpai ditempat lain, cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarkat Toraja diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya, sehingga budaya Toraja tak pernah punah dan kelestariaanya tetap diperhatikan. Menurut Soelaiman Soemardi & Selo Soemardjan menerangkan bahwa suatu kebudayaan merupakan buah atau hasil karya cipta & rasa masyarakat. Begitu pun budaya Toraja terbentuk dengan ragam perbedaan seperti Suku, Agama, Landmark, Pakaian, Bahasa, Seni, dll. Suatu kebudayaan memang selalu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat, dengan pengalaman hidup seperti perilaku, gaya hidup, religi, dan sebagainya dalam lingkup masyarakat tertentu.
Generasi Penerus Toraja (Dok. Penerbit)
Kebudayaan yang ada di Toraja sangat berpengaruh kepada generasi selanjutnya dari masa kemasa, Hal ini mengarah kepada generasi mudah Toraja agar dapat mengenal dan terus melestarikan budaya yang sangat menakjubkan titipan Sang pencipta dan telah diwarisakan oleh pendahulu kita agar mengenal seperti apa perkembangan budaya yang ada di Toraja, hingga sampai saat ini masih dapat kita rasakan.
Dalam Upacara Rambu Solo (Dok. Penerbit )
Meskipun saat ini pengaruh globalisasi mempengaruhi keberadaan kebudayaan yang ada, namun dibeberapa tempat seperti Toraja, masyarakatnya tetap mempertahankan dan berpegang teguh terhadap nilai-nilai yang ada dan menerapkanya dalam bermasyarakat. Orang Toraja percaya bahwa mereka berasal dari dua nenek moyang yakni To Lembang dan To Manurung. To Lembang yang artinya orang yang datang dengan menggunakan perahu kemudian menetap di daerah tersebut sampai mempunyai keturunan yang tersebar di berbagai tempat, To Manarung yang berarti orang yang diturunkan dari langit untuk menjaga dan mengatur tata keberlangsungan hidup. Kedua nenek moyang ini membangunan tempat tinggal mereka yang disebut Banua Puan atau Banua Tamben, kemudian bangunan inilah yang dianggap oleh sebagian masyarakat Toraja sebagai tongkonan pertama yang didirikan oleh nenek moyang orang Toraja.
Tongkonan Ke'te Kesu (Dok. Penerbit)
Tempat tinggal atau bermukim memang sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan sembari memelihara alam yang ada, sehingga kelak dapat berguna demi keutuhan suatu daerah. Sehingga masyarakat Toraja pada zaman itu membangun sebuah rumah yang saat ini kita kenal dengan sebutan “Tongkonan” yang ada sudah sejak ratusan tahun yang lalu dan keberadaannya tetap diperhatikan. Tongkonan ini merupakan rumah adat tradisional Toraja yang sampai saat ini masih tetap bertahan ditengah perkembangan zaman, dengan keberadaannya yang tetap dipertahankan & dilestarikan serta nilai-nilai luhur yang terkandungnya didalamnya, menjadikan Tongkonan salah satu warisan dunia oleh UNESCO, salah satunya yaitu Ke’te Kesu yang terdapat dibagian utara Toraja. Dalam hal ini UNESCO melihat bahwa begitu pentingnya suatu kebudayaan untuk dijaga dan tetap diperhatikan dalam mengukir sejarah. Tongkonan merupakan salah satu faktor yang menarik banyak wisatawan mancanegara dan domestik untuk datang berkunjung ketempat ini. Rumah adat Tongkonan sering digunakan untuk keperluan bersama dalam melakukan kegiatan sosial dan sebagai tempat upacara religi, selain itu tongkonan juga mempunyai fungsi sebagai wujud persatuan dalam budaya Toraja.
Ukiran Tongkonan (Dok. Penerbit)
Keberadaan Tongkonan sangat berarti dalam lingkup masyarakat Toraja, sehingga dalam pembuatan rumah adat Tongkonan sangat diperhatikan guna mendapatkan hasil yang baik dan sesuai dengan norma dan nilai yang ada, dalam hal ini Tongkonan harus dibangun berhadapan dengan alang tempat menyimpan hasil pertanian dan sebagai tempat menerima tamu, begitu juga dalam membangun rumah adat Tongkonan harus menghadap ke utara, serta masih banyak hal lain yang harus diperhatikan. Rumah adat tradisional Toraja pada dasarnya ditandai dengan atap melengkung menyerupai perahu yang terbuat dari bahan-bahan alam yang asli seperti bambu, kayu, dll, serta banyak memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat dilingkungan sekitar atau pun di hutan. Tongkonan pada dasarnya tidak hanya semata bangunan rumah adat, akan tetapi merupakan konsep budaya Toraja itu sendiri. Oleh karena itu, budaya yang begitu unik dengan budaya Tongkonan, memberi rasa dalam melestarikannya sebagai rumah tradisional Toraja, ada beberapa jenis Tongkonan yang memiliki fungsi dan peranan yang berbeda-beda. Misalnya saja Tongkonan Layuk dan Kaparengngesan terdapat tiang yang disebut A’riri Poasi yang merupakan tiang tengah, Kabongngo katik, sedangkan untuk Tongkonan Batu A’riri tidak diperbolehkan. Dinding rumah adat Tongkonan dan beberapa elemen lainnya dilengkapi dengan keindahan ukiran dengan warna-warni yang indah serta memberikan makna yang berbeda-beda, pada Tongkonan Layuk dan Kaparengngesan diukir dengan Garontopassura dalam hal ini merupakan dasar ukiran, antara lain Pa’tedong, Pa’bare Allo, dan Pa’tangkelumu. Sedangkan Tongkonan Batu A’riri tidak diijinkan menggunakan ukiran ini, pada bagian depan Tongkonan terdapat tiang tinggi dan melekat beberapa tanduk kerbau.
Penari Toraja (Dok. Penerbit)
Selain seni Arsitektur, Toraja juga memiliki seni tari yang dalam bahasa Toraja disebut Ma’gellu. Ma’gellu biasanya dipentaskan pada acara-acara tertentu, seperti penyambutan Tamu, Perhelatan budaya, pesta rambu Solo’ dan Tuka, dan berbagai hal lain yang berkaitan dalam kehidupan masyarkat Toraja. Para Pa’gellu terdiri dari laki-laki dan perempuan, tugas laki-laki sebagai pemukul gendang dan perempuan sebagai penari diiringi alunan gendang. Alat seni musik tradisional Toraja umunnya terbentuk dari bambu yang dibuat dan diukir sedemikian rupa sehingga menghasilkan suara yang merdu, seperti seruling dan berbagai alat lainnya.
Ma'pasonglo (Dok. Penerbit)
Lahir dari pencipta dan akan kembali kepada-Nya, hal ini merupakan kenyataan yang harus dijalani dalam sepanjang kehidupan, kematian dalam budaya Toraja sangat di hargai keberadaanya, dalam budaya Toraja dikenal dengan upacara Rambu Solo. Dalam upacara ini segala sesuatunya dipersiapkan dengan baik sebagai tanda kehormatan bagi mereka yang meninggal dunia. Seperti melakukan tradisi, dan tradisi ini sangat erat hubungannya dengan rumah adat Tongkonan sebagai objek dalam pelaksanaan. Upacara Rambu Solo sangat tekenal sehingga banyak wisatawan yang berkunjung ke Toraja, Rambu Solo dalam kehidupan masyarakat Toraja merupakan sesuatu yang tidak akan telepas dan akan tetap berjalan karena upacara kematian “Rambu Solo” yang ada di Toraja sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu.
Ma'badong (Dok. Penerbit)
Dalam upacara Rambu solo ada tradisi yang disebut Ma’badong, Ma’badong adalah makna dari saling mengasihi, menghormati, menjunjung serta mengingat jasa-jasa leluhur. Ma’badong adalah warisan
tradisi yang diwariskan oleh leluhur orang Toraja secara turun temurun yang didalamnya terdapat makna simbolik.  Ma’badong dilakukan oleh minimal 10 orang bahkan ratusan tergantung dari banyak orang yang menghadari acara Rambu Solo. Dalam Ma’badong dilakukan dengan cara membentuk lingkaran, kemudian saling berpegangan tangan. Dalam hal ini berpegagangan tangan berarti meskipun pun mereka telah ditinggalkan orang yang mereka sayangi namun tetap menjunjung persatuan dan saling membantu dalam kebersamaan. Dalam upacara Rambu Solo juga terdapat istilah “Pertarungan”, jangan salah paham pertarungan yang dimaksud adalah aduh kerbau dengan mempertemukan kerbau-kerbau petarung dengan fisik yang kuat untuk dapat mempertahankan diri dari lawannya.
Arena Tedong Silaga (Dok. Penerbit)
Para kerbau petarung akan berlaga dalam wilayah yang telah ditentukan biasanya berbentuk lingkaran dengan sekelilingnya dipagari dengan bambu, hal ini dilakukan untuk menjaga pertarungan tetap aman sehingga kerbau tidak keluar daerah dari arena yang telah ditentukan dan memberi rasa aman kepada para masyarkat yang menyaksikan. Aduh kerbau dihadiri oleh banyak orang tak terkecuali wisatawan lokal maupun mancanegara, sehingga jika dibandingkan dengan hari-hari lain dalam upacara Rambu Solo mungkin disinilah puncak masyarakat hadir yang mencapai ribuan orang.
Adapun tradasi yang masih ada kaitannya dengan Rambu Solo’ yakni pemakaman, pada saat segala sesuatunya telah terlaksana, maka tahap akhir dari upacara Rambu Solo yakni pemakaman. Pemakaman yang ada di Toraja beda dari yang lain, mereka yang
Pemakaman di Tebing batu (Dok. Penerbit)
dimakamkan dibalut dengan kain merah kemudian dibawah kesuatu tempat, dalam hal ini tempat pemakaman yang tebuat dari batu alami yang dipahat menyesuikan ukuran. Batu yang digunakan bukan sembarang batu, karena ini akan berpengaruh terhadap segalah sesuatu yang akan terjadi. Jika Anda mengunjungi Toraja seperti pamakaman yang ada dibelakang rumah adat Tongkonan Ke’te Kesu ataupun Londa, maka Anda akan mejumpai pamakaman yang menjulang tinggi diantara bebatuan serta banyak peti mati yang bergelantungan diluar.                                               
Melihat semua hal ini, tentunya kita sebagai masyarakat Toraja memiliki tekad dan persatuan dalam memotivasi diri untuk mempertahankan cagar budaya termasuk nilai sejarah dan peninggalan tertentu yang dianggap memiliki nilai atau daya tarik dan perlu dipertahankan.
Wisatawan Mancanegara Menghadiri Upacara Rambu Solo (Dok. Penerbit)


Blog, Updated at: 3:24 AM

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts

Informatics. Powered by Blogger.

Followers